Jadwal pengurusan exKelas Periode Arisan Forkom StLouis81 2015/2016
Posted by Pujiono on Tuesday, August 4, 2015 ·
Leave a Comment
Utk Arisan periode ke 3 kelas yg handle utk 1 thn kedepan diundi langsung pd saat Arisan ke 1 tgl 1 Agst sbb :
Bln Sept’15: P2
Bln Okt’15. : P4
Bln Nov’15 : P3
Bln Des’15 : Forkom ( Acara Lansia, Natal & Tahun Baru bersama )
Bln Jan’16 : S1
Bln Feb’16 : P7
Bln Mrt ’16 : P6
Bln Apr ’16 : P5
Bln Mei’16 : Forkom ( FG5 )
Bln Jun’16 : S2
Bln Jul ’16 : Forkom ( Halal Bihalal Idul Fitri )
Bila ada kelas yg akan tukar dg kls lainnya mohon menghibungi wakil kls tsb & memberitahukan jg ke Stevi /Helen
Malin Kundang? ………..How About Pay it Forward
Posted by Pujiono on Sunday, March 8, 2015 ·
Leave a Comment
Apakah dua kali mengikuti kunjungan ke Panti Jompo telah menggoyahkan mental saya, bahwa Panti itu gambaran “rumah masa depan”? NO ! …. Why? Karena saya berpikir, saya telah memberi teladan kepada anak anak saya bagaimana saya memperlakukan orang tua saya. I am sure, They will not send me there.
Pada kunjungan pertama (dalam rangka care kepada Bu Dharyati alm.) dengan Stevie dan Witarmin, seorang ibu di kursi roda yang mengaku anaknya alumni St.Louis, menghampiri kami. Dengan ber api2 ia mengutarakan bahwa menantunya yang mengirim beliau ke panti tsb. Ia menganggap keberadaannya di sana sebagai bentuk pengasingan. Pada kunjungan kali kedua, dalam rangka Perayaan Natal oleh Forkom, para manula aktif menari, berjoged diiringi music dari electone. Sebagian duduk formal dengan seragam topi Sinterklaas warna merah cerah yang sejujurnya, agak susah bagi saya menerka apa cuaca perasaan mereka senada dengan kostumnya………Orang Tua saya yang tinggal dengan saya beberapa kali menyindir, bahwa betapa kontradiktif gaya hidup masa jaya koleganya dibanding endingnya yang ternyata berakhir di Panti Jompo. Pak Sugeng dalam acara tutup tahun di rumah ketua kelas P1, bicara hal senada tentang “perasaan terbuang” dari Orang Tua apabila di kirim ke Panti Werdha. Istri saya bahkan ikut menimpali dengan pengalamannya sendiri. Ia mengesankan begitu susahnya mendapat ‘seat”dalam slot antrean untuk bisa masuk panti bagi tantenya. Ia ikut repot karena tantenya yang disable dianggap biang yang “bikin pusing” bagi anak menantunya. Sebagai pihak netral, ia mengusulkan masuk panti adalah solusi yang paling kompromis.
Tapi sampai sejauh itu perasaan saya akan Panti Jompo malah tetap netral. ( saya tidak menjudge apapun tentang Panti Manula karena melihat fenomena yang OK OK saja dari Ibu Stevie yang tinggal disana). Bahkan kalaupun saya ada idea untuk meng arrange sebuah skema financial yang terjangkau. Dimana mewujudkan sebuah Panti Jompo sampai 20 tahun kedepan bukan suatu keniscayaan. Panti dimana tidak ada anggota Forkom yang tertolak dalam sirkumstansi apapun,…. itu tak lebih dari insting developer saya saja. Saya tergerak karena melihat ada peluang . Lalu mengapa saya tidak bisa menahan diri untuk tidak menulis sebuah thema yang tidak nyaman ini? karena ini tentang diri sendiri. bukan tentang menantu, mantan guru yang terhormat atau tante istri saya.
Semuanya bermula ketika beberapa hari lalu saya lihat dicermin, pada bagian depan rambut saya ada rambut putih yang menyolok.Saya sudah biasa melihat beberapa teman yang bermahkota abu abu, tetapi saya tidak siap untuk wajah saya sendiri. Cabut atau tidak?, cabut sampai kapan? Sekarang saja sudah mulai botak di bagian belakang (tetapi tidak terlihat di cermin). Tidak cabut, berarti siap tidak mengakui bayangan di cermin adalah refleksi diri sendiri. Nah koq tiba tiba saja saya jadi berpikir. Tiba tiba saja saya tergerak mengevaluasi kembali keyakinan saya tentang teori keteladanan yang saya yakini selama ini. Tanpa sadar saya mulai lagi mengutak atik memori saya tentang beberapa referensi berkenaan dengan “orang yang sudah tua”. Mayoritas kisah fiktif-cerita nyata, berita berita di Koran-tv, sos-med, film, dll, adalah kisah tentang manusia yang dalam kondisi masih “produktif”. Yang sudah tidak produktif sedikit sekali diceritakan. Bintang film, politikus, olahragawan yang sudah amat tua baru masuk berita lagi saat meninggal. Tetapi masa masa menurunnya produktifitas, kita tidak pernah tahu. Mungkin dialog dan adegan pada film serie tv lama “The Golden Girls” masih tetap saya anggap relevan untuk menyampaikan “old but fun”. Death Becomes Her-Goldie Hawn,malah saya anggap cenderung ke komedi. Berkhayal akan adanya obat yang bisa melawan tua bahkan mati, bukan suatu cerita yang berbobot. Itu hanya contoh over self denial dengan segala kerabat konkritnya yang lebih ringan. Semir rambut, operasi plastic, sedot lemak, suntik botox dll. Tetapi saya mulai meragukan kesimpulan saya pada film klas nominasi Oscar seperti “No Country for Oldman”- Tommy Lee Jones atau “August: Osage County”.- Meryl Streep. Dulu saya termenung, karena koq cuman segitu aja ya endingnya (No Country…). Kejayaan masa muda tidak berbanding lurus dengan kemapanan masa tua.dengan adegan orang tua lemah dikursi roda, ternyata adalah mantan seorang polisi hebat yang dimasa tuanya, hidup sendiri ditengah Texas desert dengan kopi yang sudah berhari hari di teko…….kalau digali ulasannya lebih seksama, ternyata makin bias moral story nya. Mulai dari pertanyaan perlunya kita disiplin dalam “follow or not to follow the rules” , Nihilisme sampai penanggalan bertahap dari materialisme menuju spiritualisme. Atau hikmah dari seorang ibu, yang berusaha tampak “kuat” gaya Amerika yang akhirnya juga menyerah lemah dipelukan orang yang paling disepelekan. Tidak berhenti di sana. Beban masa lalu pada anggota keluarga (“Osage County”), ternyata tetap merupakan ganjalan yang membekas dan menunggu momen tepat untuk memberi impact keras pada orang tua ketika mereka sakit dan lemah. Tentara yang selama hidup dilatih tegar, kuat, handal dan siap mati untuk Negara, dimasa purna bhaktinya, tidak mau terlukiskan renta dan berpulang karena usia. Mereka lebih mau menggambarkan dirinya sebagai “memudar”……. Old soldier never die, they just fade away.
Hobby melukis saya yang membawa saya dekat dengan pembuat frame kayu konvensional sejak tahun 90 an, sekarang beralih ke frame acrylic. Bahan artificial itu saya pilih bukan hanya karena appearance yg lebih variatif, tetapi juga karena factor Pak Achmad nya yang sudah pikun. Beliau hanya bengong kalau diajak berunding untuk menyelaraskan lukisan dan framenya. Nah, Pandangan kosong dari usia lanjut seorang pengrajin bingkai itu yang jadi rujukan saya, …”Saya akan seperti itu suatu hari”. Kemudian saya jadi mengidiolakan dua sosok idaman tentang bagaimana sebaiknya bentuk pamitan atau resign kita. Yang pertama adalah pelukis Affandi. Sampai tidak kuat berjalan dan harus dipapah pun sang maestro masih produktif . Setiap goresan dari jari yang masih bisa menggapai kanvas, adalah sejarah. Yang kedua adalah sosok Bhiksu dalam “Little Buddha” (Keanu Reeves). Setelah mission accomplished, Sang Bhiksu tua naik ke loteng, meditasi dengan senyap……. sampai tidak ada lagi jeda yang terdeteksi kapan sebenarnya jantungnya telah berhenti berdetak. Sangat berani, sadar dan damai…..
Klasifikasi Tua , berdasarkan rasa ingin tahu saya, sepertinya masih bisa di kategorikan dalam beberapa stadium. Pertama ketika perasaan tahu diri secara instingtif bahwa kita tidak boleh seperti anak muda lagi. Kemudian perubahan dan penurunan fisik mulai terasa, diteruskan periode dipanggil opa-oma. Disusul fase dimana topik pembicaraan kita mulai bergeser mengerucut dari karir menjadi kondisi kesehatan, karir anak, siapa sang menantu dan berapa jumlah cucu. Dilanjut hari hari dimana skill kita sudah mulai diragukan oleh dunia. Saat itu mungkin kalau tidak berusaha sadar, kita jadi pikun (saya teringat adegan raja George V dalam “King Speech” dari sosok raja yang tegas, garang sampai tua renta linglung tetapi statusnya tetap Raja Inggris). Kalau masih ada umur, seperti yang saya amati, saking tuanya, ada orang yang tidak begitu sadar lagi apa dirinya masih perlu hidup. Bahkan ketika berpulang , kerabatnya mengatakan, ia meninggal, tetapi ya memang sudah 90 an…..
Cerita rakyat tentang hikayat Malin kundang yang lupa orang tua setelah sukses, terkutuk jadi batu. Dari hasil BBM broadcast saya kecipratan resep bahwa kalau mau hidup sukses dan damai, perlakukan orang tua kita seperti Raja…..pertanyaan besarnya adalah apakah kita mengharap perlakuan yang sama? Apakah kita mau menerima kalau anak kita tiba2 jadi batu karena lupa pada kita atau….. tolong ya nak perlakukan saya seperti Raja karena itu yang saya lakukan ke orang tua saya…….saya punya prinsip soal itu. “Pay it forward” . Kita patut memperlakukan Orang Tua seperti Raja atas rasa terimakasih kita. Kita juga wajib ber tanggung jawab ke anak anak kita sekaligus menanamkan ke mereka untuk melakukan yang lebih baik kepada anak anaknya (forward). Kalau anak mau meneladani seperti bagaimana kita memperlakukan ayah bunda kita, ..fine, tetapi Secara konsepsual Kita harus bisa survive sendiri . Jangan terlalu berharap, disaat kondisi persaingan yang dihadapi anak jauh lebih berat dimasa depan. Jangan lagi terlalu mewacanakan benak mereka untuk memikul tanggung jawab “atas” (ortu) – “bawah” (anak), supaya kita tidak menciptakan dilema ke keluarga anak dan sekaligus menyemai benih kecewa dalam diri kita sendiri. Jadi pada saatnya, kita harus sudah siap pada kondisi yang berubah (seperti perasaan suami yang mulai di nomor tigakan dari istri sejak punya cucu….cerita dari Anthony Gyrel) alih alih jadi beban anak, justru tanggalkan semua ego kita untuk justru men support bagian bagian yang bisa menopang kebutuhan anak kalau perlu sampai urusan momong cucu. Sampai kapan?, sampai fade away…….how about that?
Trus mengapa topic ini saya tulis di forum Forkom?, ……ya karena saya menyimpan harapan. Forkom adalah salah satu potensi solusi dalam konsep rasa kemandirian dan survival kita. Bersama kita bisa. Apakah ini bisa berjalan secara alami, tidak! Jangan harap berhasil tanpa konsep, strategi dan usaha. Konsepnya adalah “tidak melawan”. Menua dan memudar adalah hal yang paling realistis, so pasti dan no choice dalam hidup sejak kita lahir. Bukan pesimisme yang saya sodorkan, tetapi sikap tanggap dan penuh persiapan, yang kita tanamkan. Kita ingin menjadi person yang tidak kagetan, post power syndrome, stubborn (seperti perasaan diungsikan kalau ke panti jompo) bahkan sebaliknya kita coba bersama sama menjadi pribadi yang elastic, lentur, fleksibel dan teduh ( yang kehadiran kita selalu di rasa membantu).
Strateginya, adalah menyadari bahwa hari ini harus ada suatu rancangan yang jelas untuk 20 tahun kedepan selagi tenaga, pikiran dan produktifitas kita masih berfungsi maksimal. Penuh awareness bahwa di kala usia 70 an , kita tahu kita berada dimana. Investasi apa saja yang perlu kita persiapkan sekarang, baik fisik, mental, financial dll, Apa peranan Forkom dalam blue print tersebut. Nah coba kita kombinasikan ke unikan kita masing masing dari potensi lebih 300 orang alumni 81. Ramai ramai kita membayangkan what will we do in the age of 75?. Apa Arisan masih bergulir? Apa Famgarth masih bisa menemukan lokasi lokasi baru? Atau kegiatannya sama sekali lain? Bagaimana bentuk Morphing Transition nya secara gradually? Lets find out. (Ricky P1)
Hello teman teman Forkom St Louis 81, khususnya yg berada di overseas dan belum menerima sms voting, bisa mengirimkan sms Kandidat Ketua Forkom 2014-2017.
Bagi yg belum sempat memilih via SMS ini dpt juga memilih langsung dtg ke St Louis
tgl 30 Nov 14 pk.11.00-13.00 BBWI.